AGAR ILMU BERMANFAAT

Buya YahyaBiasanya ilmu didapat di sebuah majlis ilmu. Majlis ilmu adalah sebuah majlis yang di gunakan untuk mencari ilmu agar bisa beramal dengan benar dan puncaknya adalah mendapakan ridho Allah SWT.

Read more: AGAR ILMU BERMANFAAT

Kapan Boleh Membayar Fidyah Sebagai Ganti Puasa?

Allah SWT memberikan keringanan bagi musafir (orang yang melakukan perjalanan) dan orang sakit untuk tidak berpuasa di bulan ramadhan, akan tetapi wajib bagi mereka mengkodho (menggantikannya dengan hari yang lain).

Orang sakit yang sudah tidak diharapkan kesembuhannya dan orang tua (kakek-kakek) yang tidak mampu berpuasa cukup baginya membayar fidyah sebagai ganti puasa.

Adapun orang yang sudah pikun tidak wajib baginya berpuasa dan tidak wajib pula membayar fidyah.

Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Mahfudz Al-Haddad mufti Hadramaut menjelaskan masalah ini dalam kitab Fatawa Ramadhan sebagai berikut:

Pertanyaan :Mohon dijelaskan siapa saja yang wajib mengkodho puasa, dan siapa yang cukup membayar fidyah.

Jawaban: “Alhamdulillah, begitu jelas hikmah Allah ketika mewajibkan puasa kepada umat ini, sebagaimana kebiasaan Allah dalam mensyariatkan suatu yang tidak biasa atau memberatkan hamba-Nya maka hal tersebut disyariatkan dengan cara bertahap. Allah berfiman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ، أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu”. Al-Baqarah:183-184.

Kemudian agar membuat jiwa kita merasa mudah dan tidak berat dalam melaksanakannya Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Al-Baqarah: 184.

Ketika turun ayat ini Allah memberi pilihan, bagi siapa yang ingin berpuasa diperbolehkan, atau memilih membyar fidyah (sebagai ganti puasa) juga tidak ada larangan. Sampai turun firman Allah SWT:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Al-Baqarah:185

Hukum pertama (memilih antara puasa atau fidyah) di nasakh (dihapus) dengan ayat ini, akan tetapi Allah mengembalikan rukhsah (keringanan) untuk para musafir dan orang sakit dengan firman-Nya:

 وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”.  Al-Baqarah:185

Allah mengulangi kembali rukhshah (keringanan) untuk para musafir dan orang sakit, agar tidak disangka bahwa hukum itu telah dihapus dengan firman-Nya:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Al-Baqarah: 185

Allah kemudian menegaskan bahwa keringanan ini tetap berlaku dan tidak dihapus hukumnya. Allah berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya”. Al-Baqarah: 185

Orang sakit dan musafir

Keringanan tersebut adalah bagi musafir dan orang sakit jika tidak berpuasa maka wajib mengqadhanya di hari lain, dan tidak cukup bagi mereka dengan membayar fidyah saja, karena mereka mampu menggantinya di hari lain.

Para ulama membatasi bahwa yang dimaksud dengan perjalanan disini adalah perjalanan jauh yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat, yaitu jarak yang diambil dari perjalanan-perjalanan Rasulullah SAW yang tidak diketahui secara pasti jaraknya, diperkirakan 48 mil. Bila kurang dari itu tidak dinamakan perjalanan jauh, yang dianggap perjalanan jauh adalah perjalanan satu hari satu malam dengan kendaraan unta pembawa barang.

Keringanan tetap ada pada musafir baik perjalanannya menggunakan kendaraan atau berjalan kaki, naik mobil atau naik pesawat, dengan syarat telah keluar dari batas kota. Sedangkan jika belum keluar dari batas kota maka belum boleh mengambil keringanan, baik perjalanan tersebut memberatkan si musafir atau tidak.

Jika perjalanannya tidak memberatkan maka lebih afdhal baginya untuk berpuasa, dan berbuka lebih afdhal jika memberatkannya, bahkan bisa jadi berbuka itu wajib bila terlalu memberatkannya hingga dapat menyebabkan kematian atau dapat membahayakannya. Karena dalam keadaan seperti ini rukhshah (melakukan keringanan) baginya menjadi ‘azimah (hal yang harus dilakukan) berdasarkan firman Allah SWT :

وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا 

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. An-Nisa: 29.
 Dalam sebuah hadist juga dijelasan: Bahwa Rasulullah melihat seorang yang diberi naungan (dipayungi) kemudian Rasulullah bertanya : “Kenapa dia ini?” mereka menjawab: “ia berpuasa” kemudian Rasulullah bersabda: “Tidak termasuk kebaikan berpuasa ketika dalam perjalanan “.

Rasulullah menafikan kebaikan puasa dari orang yang ini. Sesungguhnya ia telah merasa berat untuk menjalankannya sehingga perlu adanya orang yang memayunginya. Apabila puasa itu tidak dianggap kebaikan dalam keadaan seperti ini maka puasa itu berarti maksiat.

Adakalanya juga tidak berpuasa itu lebih afdhal walaupun bila ia perpuasa tidak terasa berat baginya, hal ini jika dilakukan oleh orang yang dianggap panutan masyarakat dengan tujuan untuk memberi keringanan bagi mereka, sebagaimana Rasulullah SAW telah berbuka (tidak puasa) dalam perjalanan, ketika tahu bahwa sebagian sahabatnya merasa berat untuk berpuasa, agar orang-orang mengikutinya berbuka.

Sakit yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa

Ruhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa bagi orang sakit disebutkan secara mutlak dalam ayat diatas, akan tetapi para ulama membatasinya dengan sakit yang memberatkan untuk berpuasa, atau yang mengharuskannya minum obat secara teratur, dan jika tidak teratur minum obat pada siang hari maka tidak akan sembuh-sembuh. Maka berbuka disini adalah rukhsoh (keringanan yang boleh dilakukan) akan tetapi jika berpuasa membahayakan dirinya maka menjadi azimah (suatu yang harus dilakukan).

Rasulullah SAW bersabda: “Allah senang jika keringanan dari-Nya dilakukan sebagaimana Dia juga senang ketika azimah-Nya (hukum asal) dilaksanakan”.

Dengan dasar ini jika orang sakit dan tidak berpuasa, maka yang diwajibkan baginya adalah mengqadha’ puasa tersebut dihari yang lain, yakni ketika dia sudah sembuh, walaupun sembunya setelah jangka waktu yang lama setahun atau lebih.

Jika sakitnya tidak sembuh-sembuh sampai dia meninggal dan tidak sempat untuk mengqadha, maka dia tidak wajib apa-apa, akan tetapi untuk lebih ihtiyat (berhati-hati) hendakya ada orang lain yang berpuasa untuknya atau mengeluarkan fidyah, karena Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiap meninggal dan masih mempuanyai hutang puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuknya “.

Para ulama yang berpendapat bahwa tidak wajib apa-apa mengatakan bahwa Allah SWT telah memerintahkannya untuk mengqadha ketika dia mampu melakukannya (yaitu ketika dia sembuh), sedangkan hari-hari yang dia dalam keadaan sehat itu tidak ada, maka dia tidak wajib apa-apa.

Orang sakit yang sudah tidak diharapkan kesempuhannya

Akan tetapi ada orang sakit yang sejak awal sudah diwajibkan untuk membayar fidyah, yaitu orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Para ulama menyebutnya dengan sakit muzmin (sakit menahun), seperti penderita sakit ginjal, khususnya orang yang telah diambil salahsatu ginjalnya dan tinggal satu saja, sehingga biasanya dokter melarangnya untuk berpuasa. Karena berpuasa akan membahayakan ginjalnya yang hanya satu. Juga orang-orang yang punya sakit jantung dan lainnya.

Kadar Fidyah

Mereka semua wajib untuk membayar fidyah dari awal. Yaitu dengan mengeluarkan setiap harinya satu mud. (satu sha’ sama dengan empat mud yaitu kadar yang biasa dikeluarkan untuk zakat fitrah, maka satu sha’ ini untuk membayar fidyah empat hari).

Bagi orang tersebut diperbolehkan mengeluarkan fidyah ini setiap hari, atau membayar tigapuluh mud sekaligus diawal bulan, atau di ahir bulan atau memisah-misahnya ditengah bulan.

Orang-orang tersebut jika tidak membayar fidyah kemudian meninggal, maka ahli warisnya diminta memilih antara memberi makan sehari satu mud atau berpuasa untuknya. Boleh juga bagi mereka membagi hari-hari untuk mengkodho puasa tersebut (diantara keluarganya) jika mereka tidak mau mengeluarkan fidyah.

Orang tua yang tidak kuat berpuasa

Dianggap seperti orang sakit yang wajib membayar fidyah juga, nenek-nenek atau kakek-kakek yang masih berfungsi panca indranya akan tetapi tidak  mampu berpuasa atau memberatkan mereka. Maka mereka wajib mengeluarkan fidyah dari awal seperti orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, karena umur yang telah tua adalah salah satu penyakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka diangkatlah kewajiban darinya.

Ibu hamil atau menyusui

Ibu hamil dan menyusui diperbolehkan untuk berpuasa bila tidak membayakan kesehatan, sedangkan jika mereka merasa perlu untuk tidak berpuasa karena khawatir dengan kesehatannya, atau juga khawatir dengan kesehatannya dan kesehatan anaknya, maka mereka boleh tidak berpuasa, dan tidak wajib untuk membayar fidyah.

Orang tua yang telah pikun

Tinggal satu lagi yaitu orang-orang yang kehilangan panca inderanya karena terlalu tua, hingga mencapai batas pikun, maka mereka sudah tidak wajib lagi untuk berpuasa juga tidak wajib fidyah, karena yang dijadikan patokan diwajibkannya menjalankan perintah adalah adannya akal.

 

Manusia terkadang mencapai batas umur hingga menjadi seperti anak kecil lagi dan tidak sempurna pemahamannya. Orang seperti ini adalah orang yang dikembalikan dari keadaan tahu menjadi tidak tahu lagi. Ia tidak diwajibkan menjalankan perintah, akan tetapi dibiarkan saja  dalam masalah taklif (perintah dan larangan) ia seperti anak kecil”.

Sumber: Fatawa Ramadhan Al-habib Abdullah bin Mahfudz Al-Haddad

Bersyukurlah Sebagai Seorang Santri

yaI Masbuhin FaqihOleh: KH. Masbuhin Faqih
 Hidup di dunia tak ubahnya seperti “mampir ngombe tok”. Sungguh celaka orang yang hidup di dunia hanya disibukkan untuk mencari dunia, berperilaku hedonistik tanpa sedikitpun mengingat akhirat. Perlu dan harus kalian ketahui bahwa dunia ini adalah terlaknat. Begitupun  juga setiap sesuatu yang ada di dalamnya. Seperti halnya bungkusnya, semuanya ikut terlaknat.

Page 1 of 3